Tradisi Tahunan Rabu Abeh Masyarakat Gampong Sukarejo

  • Whatsapp

BEDAHNEWS.com – Masyarakat Aceh yang dikenal akan kekentalan dalam segala sesuatu yang berbau agama islam dan budaya leluhur yang turun temurun dilaksanakan dari generasi ke generasi. Salah satunya yang dapat dilihat adalah tradisi tahunan Rabu Abeh atau tolak bala. Tradisi satu ini telah dilakukan sejak bertahun-tahun lamanya dan diyakini sebayai budaya leluhur yang akan terus terjaga. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menghilangkan nasib sial ketika memasuki tahun baru yang dilaksanakan disetiap akhir tahun pada hari rabu terakhir di tahun tersebut. Bukan hanya sebagai tradisi, Rabu Abeh disebagian wilayah Aceh juga dianggap sebagai hal yang harus dilakukan pada setiap akhir tahun untuk menghindari berbagai kesialan atau keburukan.

Kegiatan Rabu Abeh disetiap kota di Aceh berbeda-beda, misalnya saja di bagian selatan Aceh ada kenduri pemotongan kepala sapi/kerbau yang kemudian dibuang kelaut untuk membuang sial atau tulak bala. Kemudian karena ada banyak hal yang bertentangan dengan kegiatan tersebut atau dengan kata lain diluar dari unsur-unsur keislaman maka diganti dengan pembacaan zikir dan shalawat Nabi bersama. Tradisi ini selain hanya kegiatan tahunan namun juga bisa menjadi sebuah objek wisata atau destinasi karena biasanya dilakukan di laut atau sungai yang dapat mengalirkan makanan atau sajen yang dialirkan.

Muat Lebih

Daerah lainnya yang melaksanakan Rabu Abeh ini biasanya menyebut bulan itu sebagai bulen seuum atau bulan panas. Dikarenakan adanya perubahan musim yang dapat mempengaruhi manusia baik secara fisik maupun psikis. Maka dari itu masyarakat secara bersama sama melakukan kegiatan Rabu Abeh yang di lakukan dengan pembacaan Doa oleh tengku atau ustad. Dahulu masyarakan melakukan tradisi ini dengan menghias sampan-sampan atau perahu kecil dan pembakaran kemenyan serta beberapa kembang atau bungan didalamnya. Didalam sampan tersebut juga berisi berbagai macam makanan yang kemudian akan dihanyutkan kesungai sebagai bentuk untuk menghindari dari bala atau kemalangan. Namun kegiatan ini sempat dihentikan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Kemudian ada juga yang melaksanakan Rabu Abeh dengan beramai-ramai mandi di sungai atau laut untuk membersihkan diri. kegiatan mandi ini juga dapat dilakukan di meunasah atau mesjid, dayah atau pesantren, mata air atau tempat pemandian lainnya. Hal ini dipercaya dapat menghilangkan aura jahat atau negatif seseorang, sehingga setelah mandi ini dapat menjadi insan atau manusia berjiwa bersih. Kegiatan mandi ini juga dapat menjadi salah satu penolak bala atau penghindar dari kemalangan, penyakit atau kesialan lainnya. Namun di setiap daerah dapat berbeda pula tradisi yang dilaksanakan. Tradisi ini hampir sama yang dilakukan oleh masyarakat jawa, mereka menyebutnya dengan persembahan atau sesajen untuk menghindari kemalangan atau memanjatkan rasa syukur untuk panen.

Gampong sukarejo yang terletak di Kota Langsa juga melaksanakan kegiatan tahunan ini, Rabu Abeh yang hampir mirip seperti kota lainnya di Aceh. Tidak hanya sukrejo namun dua gampong yang berdekatan lainnya seperti Sungai Lueng dan Cinta raja atau Uyok juga ikut melaksanakannya. Tradisi tahunan ini dilaksanakan di desa cinta raja karena memiliki aliran sungai yang langsung menuju laut. Kegiatan ini dipimpin oleh tengku atau ustad yang membacakan doa dan shalawat nabi sebagai pengiring sampan yang berisi berbagai jenis makanan dan lauk pauk. Tidak hanya sampan bentuk dari hantaran tersebut dapat berupa tampah besar atau talam yang berisi buah-buahan, daging ayam panggang, ikan bakar, nasi, sayur sayuran dan sebagainya.

Kegiatan ini biasa dihadiri oleh berbagai kalangan baik anak-anak, remaja, dewasa bahkan orang tua. Juga dihadiri oleh orang tua gampong seperti Geuchik, pak lorong dan sebagainya. Kegiatan awalnya yaitu kegiatan masak-memasak yang dilakukan dirumah masing-masing, jika ada yang berlebihan lauk atau makanan maka diberikan kepada satu orang yang mengumpulkan makanan tersebut. Lalu dihiaslah dengan indah. Kemudian membawa persiapan tersebut ke tepi sungai yang ada di gampong, lalu mulai pembacaan doa dan shalawat nabi. Lalu penghanyutan ke sungai hingga lepas kelaut. Ada rumor yang mengatakan bahwa makanan yang dialirkan tersebut tidak boleh dimakan oleh manusia karena itu milik jin. Dan apa yang terjadi jika dimakan oleh manusia? Maka orang tersebut akan jatuh sakit.

Karena rasa penasaran, saya bertanya kepada salah satu orang tua gampong yaitu nek jah, beliau menjelaskan bahwa dahulu ada seseorang yang mencoba memakan sesajen tersebut, tapi keesokan harinya ia jatuh sakit. Ada juga yang memakan sesajen tersebut namun tidak terjadi apa-apa. Sebabnya adalah ketika ia makan sampai selesai, sisa makanan tersebut seperti tulang ikan dan tulang ayamnya serta biji-bijian yang terdapat dalam buah diletakkan kembali kedalam nampan tersebut, lalu dihanyutkan kembali kelaut. Belum ada kejelasan pasti mengenai hal tersebut.

Terdapat tradisi yang menurut saya unik dari Rabu Abeh yang ada di gampong sukarejo ini, yaitu setiap kegiatan yang ada di hari rabu ini tidak boleh dilaksanakan, jika tidak mau terjadi hal-hal yang buruk. Misalnya orang yang pergi kesawah atau kelaut pada hari Rabu Abeh maka untuk libur sehari itu. Karena jika melanggar maka akan terjadi sesuatu yang buruk misalnya gagal panen atau sawahnya terserang hama, atau mendapat kesialan saat berada dilaut. Hal-hal inilah yang masih dipercaya oleh masyarakat sekitar. Karena menganggap hari tersebut sebagai hari buang sial maka kegiatan yang baik tidak dapat dilakukan pada hari itu, misalnya hajat, pernikahan, turun tanah, acara pertunangan, membeli kendaraan baru dan sebagainya.

Apapun yang berkaitan dengan tradisi Rabu Abeh selagi tidak melanggar aturan pemerintah dan negara atau norma didalam agama maka masih disebut sebagai tradisi, namun jika sudah berlainan dengan agama Islam, maka sebaiknya ditinggalkan, atau diganti menjadi kegiatan yang lebih baik. Sedikit mengenai tradisi buang sial, maka sama halnya dengan daerah lain yang ada di Indonesia, maka Aceh pun memiliki hal serupa yang sudah menjadi tradisi tahunan di dalam masyarakat kita. Negara yang utuh adalah negara yang terus mengisi harinya dengan warisan budaya dan tidak meninggalkan pesan leluhur.

Oleh : Putri Rahmawati dan Dinda Elvadiana

Editor : Bung Dewa

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *