Presiden Jokowi dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat kunjungan di Kabupaten Boyolali. (Foto:inilah.com).
BEDAHNEWS.com – Tahun depan, Presiden Jokowi masanya meninggalkan istana. Banyak janji politik yang diucapkan nihil realisasi. Yang mudah diingat, janji ekonomi tumbuh 7 persen.
Ekonom senior dari Political Economy Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan punya catatan hitam terkait janji Jokowi mendongkrak perekonomian hingga 7 persen. Kesimpulannya, kenyataan perekonomian di era Jokowi, tak semanis janjinya.
Lima tahun pertama Jokowi berkuasa, menurut Anthony, perekonomian hanya bergerak di level 5 persen.
“Jauh benar dari target atau janji kampanye (Jokowi) sebesar 7 persen,” kata Anthony.
Lebih miris lagi, pertumbuhan ekonomi periode 2014-2019, jauh lebih rendah ketimbang dua kali pemerintahan SBY. Angka rata-ratanya 5,6 persen dan 5,8 persen untuk periode 2005-2009 dan 2010-2014.
Lalu bagaimana di periode kedua yang tersisa dua tahun? Naga-naganya semakin jeblok. Adanya pandemi COVID-19 selama dua tahun (2020 dan 2021), semakin ‘menenggelamkan’ janji ekonomi 7 persen yang digemborkan Jokowi.
Pada 2019, misalnya, perekonomian tumbuh 5,02 persen. Setahun kemudian ambruk ke level 2,07 persen. Pada 2021 agak bangkit ke angka 3,69 persen. Tahun berikutnya, melejit ke angka 5,31 persen.
Memang masih ada sisa waktu dua tahun. Masih bisakah 7 persen? Rasa-rasanya sulit sekali, karena ekonomi harus tumbuh di atas 9 persen per tahun. Nah sekarang bisa di atas 5 persen saja, sudah bersyukur.
Mungkin sudah banyak lupa, saat debat calon presiden (capres) pada Juni 2014, Prabowo sebagai capres sempat menanyakan target pertumbuhan ekonomi kepada Jokowi.
“Kondisi ekonomi dunia kurang menguntungkan, akhir-akhir ini. Pertumbuhan ekonomi dunia 3,3 persen. Indonesia agak lumayan, masih di atas 5 persen. Apa target pertumbuhan Indonesia jika bapak (Jokowi) terpilih. Dan strategi bapak untuk mencapai target ekonomi,” tanya Prabowo yang mengenakai baju putih dan berpeci itu.
Mendengar pertanyaan ini, Jokowi menjawab 7 persen. “Dengan catatan iklim investasi harus terbuka, investor lokal semakin banyak. Kedua, masalah perizinan harus dipermudah. Para investor merasa dilayani dengan mudah. Contoh harusnya IMB, SIUP, dan hal perizinan lainnya bisa dilakukan secara online,” tutur Jokowi yang mengenakan jas hitam.
Ketiga, lanjut Jokowi, arah industri ekspor harus dibuka sebesar-besarnya. Harus diberikan insentif sebesar-besarnya Industri apa? Industri kecil yang berada di kampung, desa hingga pelosok. Industri rumah tangga. Pemerintah harus bisa membuka peluang pasar.
“Bagaimana caranya? Dubes nantinya tidak diplomasi saja, tetapi juga menjadi marketingnya negara. Saya sudah buktikan sebagai pelaku industri kecil ini, semua bisa dilakukan asal negara hadir,” kata Jokowi.
Kembali ke analisa Anthony, tingginya angka pertumbuhan memang bukan jaminan kondisi ekonomi sebuah negara sedang ‘baik-baik’ saja.
“Artinya, ekonomi bisa mengalami krisis meskipun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, seperti terjadi di Turki pada 2018. Atau Indonesia pada 1997-1998. Pertumbuhan ekonominya mencapai 7,3 persen per tahun pada 1992-1996,” paparnya.
Pada 1995 dan 1996, lanjut Anthony, perekonomian Indonesia masing-masing tumbuh 8,2 dan 7,8 persen. Toh tersengat krisis juga pada 1997 dan 1998.
Pada 2017, pertumbuhan ekonomi Turki terbilang tinggi yakni 7,5 persen. Setahun kemudian, mata uang Lira Turki terdepresiasi tajam sehingga memicu krisis moneter dan krisis ekonomi.
Delapan bulan pertama di 2018. mata uang Lira Turki terjun bebas hingga 72 persen. Namun, ekonomi Turki masih selamat. Kerena uluran tangan Uni Emirat Arab, memberikan pinjaman guna membendung capital outflow. Risikonya, pertumbuhan ekonomi Turki terjun bebas menjadi 3 persen pada 2018 dan 0,8 persen pada 2019.
Sri Mulyani Berkelit
Terkait kontetnya pertumbuhan ekonomi, Menteri Ekonomi (Menkeu) Sri Mulyani berkelit. Dia menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah menembus 7 persen. Lho, kapan?
Saat menerangkan APBN KITA pada Februari 2023, Sri Mulyani memberikan paparan melalui slide. Ada yang menonjol dalam slide tersebut, ternyata ekonomi Indonesia pernah bertumbuh 7,1 persen pada kuartal II-2021.
Dari data BPS, di tengah-tengah pandemi, ekonomi Indonesia pada kuartal II-2021 dibanding kuartal II-2020 (yoy) sempat mengalami pertumbuhan sebesar 7,07 persen.
Pertumbuhan terjadi pada semua lapangan usaha. Lapangan usaha yang mengalami pertumbuhan signifikan adalah transportasi dan pergudangan sebesar 25,10 persen dan penyediaan akomodasi dan makan minum sebesar 21,58 persen. Sementara industri pengolahan yang memiliki peran dominan, tumbuh 6,58 persen.
Sri Mulyani mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi hingga 7,07 persen, dipicu efek baseline dari minus di tahun sebelumnya. Namun, ada faktor pemicu lainnya, yakni momentum Ramadan dan Lebaran menjadi penyelamat.
Turut menopang, saat itu, ekspor dan impor Indonesia juga meningkat tajam, diiring oleh kenaikan di sisi investasi. “Jadi ini adalah momentum rebound dan recovery yang sangat cepat,” tegasnya.
Tapi, substansinya bukan soal angka, atau salah hitung. Namun komitmen seorang pemimpin. Rakyat lebih perlu pemimpin yang jujur, merealisasikan janji. Bukan yang jago merangkai janji. Namun tak satupun yang terwujud.
APBN Besar, Ekonomi Loyo
Di era SBY, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN, lebih rendah ketimbang masa Jokowi. Namun, pertumbuhan ekonomi masa presiden asal Pacitan, Jawa Timur itu, lebih oke ketimbang mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI itu.
Pada 2004, ketika SBY awal menjadi presiden, APBN-nya sekitar Rp430 triliun. Kala itu, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,13 persen. Menjelang berakhirnya pemerintahan SBY di periode dua, APBN 2013 dipatok Rp1.726 triliun, pertumbuhan ekonominya bisa menembus 5,78 persen.
Sedangkan era Jokowi yang dimulai pada 2014, APBN ditetapkan Rp1.876,9 triliun dengan pertumbuhan ekonomi 5,01 persen. Kemudian pada 2019, APBN dipatok Rp2.165 triliun dengan pertumbuhan ekonomi 5,03 persen. Meleset dari target sebesar 5,3 persen.
Tahun ini, APBN ditetapkan melejit menjadi Rp3.061 triliun. Pertumbuhan ekonomi di triwulan I-2023 mencapai 5,03 persen. Masih jauh dari target 2023 sebesar 5,3 persen. Intinya, APBN terus mengembung namun perekonomian tidak bergerak cepat.
Padahal, tujuan memperbesar anggaran agar perekonomian semakin menggeliat. Harapannya kesejahteraan rakyat pun ikut terkerek. Nyatanya tidak begitu. Tentu ada yang salah.
Mardigu Wowiek Prasantyo yang akrab disapa Bossman Mardigu, seorang pengusaha sekaligus YouTuber kondang, menyampaikan perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat yang mengadu kepada besarnya Produk Domesrtik Bruto (PDB) per kapita di era orde baru dengan reformasi.
Mengacu kepada data Badan Pusat Statistik (BPS), Mardigu, membeberkan adanya kenaikan PDB per kapita dari Rp5,1 juta pada 1966, menjadi Rp18,9 juta pada 1998. Atau naik rata-rata 12 persen per tahun.
Sedangkan di era reformasi, masih menurut catatan Mardigu, PDB memang naik dari Rp6,8 juta (2000) menjadi Rp62,2 juta (2021). Kenaikannnya Rp55,4 juta dalam 21 tahun. Atau hanya tumbuh 8,55 persen per tahun. Pertumbuhannya jauh di bawah era Orde Baru (Orba).
Editor : Bung Dewa
Sumber : inilah.com