Oleh : Danu Abian Latif
Penulis Buku Opini Nakal untuk Indonesia
Perseteruan ini sejatinya adalah warisan dari proses pemekaran wilayah yang terjadi lebih dari dua dekade lalu. Kota Langsa resmi berdiri sendiri setelah lepas dari Kabupaten Aceh Timur, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001. Sejak saat itu, urusan pembagian aset antara kabupaten induk dan kota pemekaran menjadi PR yang tak pernah tuntas.
Ketika sebuah daerah dimekarkan, aset-aset yang berada di wilayah administratif baru seharusnya dialihkan ke pemerintah daerah hasil pemekaran. Proses ini tidak sederhana, karena mencakup tanah, bangunan, kendaraan dinas, hingga peralatan kantor. Dalam kasus Aceh Timur dan Langsa, masalah ini semakin rumit karena aset yang disengketakan bukan sekadar gedung kosong, melainkan fasilitas vital.
Beberapa kali dilakukan inventarisasi, namun selalu saja menyisakan perdebatan. Aceh Timur merasa ada aset yang seharusnya tetap dikelola mereka karena dibangun dengan dana kabupaten sebelum pemekaran. Sementara Langsa menegaskan, semua yang ada di wilayahnya harus menjadi milik kota, karena kepentingan pelayanan publik warga kota tidak bisa ditawar.
Ketidakjelasan ini berlangsung lebih dari 20 tahun. Satu generasi sudah lahir dan tumbuh besar, tetapi masalah warisan administratif ini belum juga selesai. Bagi masyarakat, sengketa ini sudah menjadi bahan lelucon getir seakan-akan pejabat lebih sibuk berebut aset daripada memperbaiki jalan rusak atau meningkatkan mutu pendidikan.
Pertarungan Ego Politik Lokal
Pernyataan terbaru dari Bupati Aceh Timur dan tanggapan Wali Kota Langsa adalah contoh nyata bagaimana persoalan aset berubah menjadi pertarungan ego politik. Bupati menegaskan akan menarik kembali aset-aset yang belum diserahkan, sementara Wali Kota membalas dengan analogi keras yang akhirnya jadi viral.
Di sinilah letak persoalan mendasarnya aset bukan lagi sekadar soal inventaris, melainkan simbol kekuasaan. Dalam politik lokal, menguasai aset sama artinya dengan menguasai simbol legitimasi. Sebuah gedung tua bisa diperebutkan habis-habisan, bukan karena nilainya miliaran rupiah, tetapi karena di dalamnya melekat harga diri pemerintah daerah.
Sayangnya, ego politik sering kali lebih dominan daripada akal sehat. Padahal, rakyat jelas lebih membutuhkan kerja sama antar daerah. Ekonomi Aceh Timur dan Langsa saling terhubung. Pasar Langsa banyak dipenuhi pedagang dari Aceh Timur, dan rumah sakit di Langsa juga menampung pasien dari kabupaten tetangga. Tetapi ketika para elite saling serang di media, publik seolah dipaksa ikut memihak.
Jika dibiarkan, pola ini berbahaya. Sengketa aset bisa berubah menjadi bahan bakar rivalitas politik menjelang Pilkada. Para calon kepala daerah bisa saja mengeksploitasi isu ini untuk meraih simpati pemilih. Alih-alih mencari solusi, konflik justru dijaga tetap menyala demi kepentingan elektoral.
Belajar dari Daerah Lain
Kisah sengketa aset daerah bukan monopoli Aceh Timur-Langsa. Hampir semua daerah pemekaran di Indonesia pernah mengalaminya. Namun banyak pula yang berhasil menyelesaikan dengan cara elegan.
Contoh yang paling sering dikutip adalah perselisihan antara Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan. Awalnya, keduanya berebut gedung sekolah dan lahan di perbatasan. Namun setelah difasilitasi Gubernur Sumatera Utara, dilakukan audit aset bersama dan serah terima resmi. Proses ini memang tidak mulus, tetapi akhirnya menghasilkan kepastian hukum.
Di Jawa Barat, sengketa antara Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi juga berlangsung lama. Cimahi yang dimekarkan pada 2001 membutuhkan fasilitas pemerintahan, sementara sebagian besar aset masih tercatat atas nama Bandung. Setelah bertahun-tahun tarik ulur, akhirnya disepakati pembagian dengan prinsip keadilan aset yang vital untuk pelayanan publik diserahkan ke Cimahi, sementara aset bernilai historis tetap dikelola kabupaten induk.
Kedua contoh itu membuktikan bahwa konflik aset bisa diselesaikan. Syaratnya adalah keterbukaan data, kemauan politik, dan fasilitasi pemerintah provinsi maupun pusat. Tanpa tiga hal ini, masalah akan terus berputar di tempat yang sama.
Dampak Bagi Masyarakat
Lebih dari itu, konflik berkepanjangan juga bisa merusak psikologi sosial masyarakat. Hubungan antarwarga yang sebenarnya harmonis bisa ikut terbelah jika elite terus memelihara narasi rivalitas. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, orang Aceh Timur dan Langsa hidup berdampingan bertani, berdagang, bekerja, dan beribadah bersama.
Sosiolog lokal pernah mengingatkan, konflik elite yang ditayangkan di media bisa menetes ke akar rumput. Pola pikir masyarakat akan terpolarisasi siapa di pihak Langsa, siapa di pihak Aceh Timur. Jika ini terjadi, maka kerugian jauh lebih besar daripada sekadar kehilangan satu gedung atau sebidang tanah.
Mencari Jalan Tengah
Solusi terbaik tentu bukan saling serang di media, melainkan duduk bersama mencari jalan tengah. Ada beberapa opsi yang bisa ditempuh:
Pertama, inventarisasi ulang seluruh aset yang disengketakan dengan melibatkan tim independen. Data yang terbuka akan mengurangi kecurigaan.
Kedua, fasilitasi oleh Pemerintah Aceh dan Kementerian Dalam Negeri. Sesuai aturan, sengketa aset antar daerah memang menjadi kewenangan gubernur untuk difasilitasi, dan jika gagal bisa dinaikkan ke Mendagri.
Ketiga, menerapkan prinsip win-win solution. Aset yang vital bagi pelayanan publik di Langsa bisa diserahkan ke kota, sementara aset yang bernilai sejarah atau strategis bisa tetap dipegang Aceh Timur. Jika ada aset yang tidak terlalu vital, bisa dipertukarkan atau dikerjasamakan pengelolaannya.
Keempat, jalur kekeluargaan dan adat Aceh. Aceh punya tradisi panjang musyawarah mukim dan keuchik dalam menyelesaikan sengketa. Menghidupkan kembali nilai kearifan lokal ini bisa jadi jalan keluar yang lebih elegan dibanding saling serang di media.
Seruan bagi Pemimpin dan Rakyat
Para kepala daerah harus menyadari, rakyat sedang mengawasi. Pernyataan keras di media mungkin bisa memberi tepuk tangan sesaat dari pendukung, tetapi dampak buruknya lebih besar. Publik justru semakin kehilangan kepercayaan kepada pemimpin yang gemar berkonflik.
Yang dibutuhkan sekarang adalah sikap kenegarawanan berani merendahkan ego demi kepentingan rakyat banyak. Bupati Aceh Timur dan Wali Kota Langsa seharusnya tampil di depan publik bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk menunjukkan bahwa mereka mampu menyelesaikan masalah warisan ini dengan kepala dingin.
Bagi masyarakat, penting untuk tidak terjebak dalam politik adu domba. Jangan biarkan konflik elite menyeret rakyat ke dalam polarisasi yang merugikan. Fokus utama masyarakat adalah memastikan layanan publik tetap berjalan, bukan ikut-ikutan dalam pertikaian simbolik antar pejabat.
Sengketa aset Aceh Timur dan Langsa adalah cermin bagaimana politik lokal di Indonesia masih sering dikuasai ego ketimbang akal sehat. Dua dekade setelah pemekaran, masalah yang seharusnya selesai lewat mekanisme administrasi masih dipelihara menjadi konflik politik.
Tetapi selalu ada jalan keluar. Sejarah menunjukkan banyak daerah lain berhasil menyelesaikan konflik serupa dengan musyawarah, fasilitasi pemerintah, dan komitmen untuk menempatkan rakyat di atas segalanya. Aceh Timur dan Langsa pun bisa mengikuti jejak itu, jika para pemimpinnya bersedia melepaskan ego.
Sudah cukup energi rakyat dihabiskan untuk drama politik. Kini saatnya pejabat memperlihatkan kedewasaan dengan mencari solusi yang adil. Karena pada akhirnya, rakyat tidak peduli siapa yang paling keras bicara, yang mereka pedulikan adalah siapa yang paling cepat bekerja.