BIREUEN, BEDAHNEWS.com – Keputusan Pemerintah Pusat yang secara sepihak menetapkan empat pulau di perairan Aceh ke dalam wilayah administrasi Sumatera Utara menuai gelombang protes keras dari berbagai elemen masyarakat dan tokoh sipil di Aceh.
Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek, yang selama ini secara historis dan geografis diyakini sebagai bagian tak terpisahkan dari Aceh, kini tercatat secara administratif di Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022, yang kemudian diperbarui dengan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Langkah kontroversial ini dinilai tidak hanya mengabaikan aspek historis dan geografis yang kuat, tetapi juga dianggap sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap semangat Otonomi Khusus Aceh dan Nota Kesepahaman Helsinki 2005.
Nota kesepahaman ini merupakan tonggak penting perdamaian antara Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia pasca-konflik berkepanjangan.
“Ini bukan soal koordinat, ini soal kedaulatan,” tegas Sayed Chairul Raziq, Ketua DPW Muda Seudang Bireuen, dalam pernyataan yang diterima redaksi pada Jumat (13/6/2025).
Sayed menyebut bahwa pemindahan wilayah tersebut merupakan bentuk “perampokan administratif” yang sistematis dan disengaja. Menurutnya, tindakan ini bertujuan untuk menguasai potensi ekonomi strategis yang melimpah di wilayah pesisir Aceh.
Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri menunjukkan betapa vitalnya pulau-pulau tersebut. Pulau Lipan, misalnya, diperkirakan memiliki cadangan gas alam senilai Rp14 triliun.
Sementara itu, Pulau Mangkir Gadang serta Pulau Mangkir Kretek dikenal sebagai kawasan dengan potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang sangat kaya.
Kekhawatiran akan kehilangan wilayah lain di masa depan juga mencuat di kalangan masyarakat Aceh. “Jika ini dibiarkan, apa jaminan ke depan Aceh tidak kehilangan lagi wilayah lainnya Kami lelah terus menjadi korban.
Jika Pemerintah Indonesia tak mampu memberikan kepastian hukum dan keadilan, maka wacana referendum layak dikedepankan sebagai bentuk perlawanan konstitusional,” ujar Sayed dengan nada geram.
Sayed juga menyoroti lemahnya implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan menilai bahwa janji-janji dalam Otonomi Khusus hanya menjadi formalitas politik yang gagal menjawab kebutuhan riil rakyat Aceh.
“Aceh telah berulang kali dikecewakan. 70 persen sumber daya migas Aceh diambil untuk kepentingan pusat. Yang kembali ke daerah hanyalah sisanya. Kini wilayah pun mulai dicabik. Di mana keadilannya?” ucapnya.
Jika pemerintah pusat tetap abai terhadap suara rakyat Aceh, Sayed menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain selain membawa persoalan ini ke forum internasional. Ia mencontohkan kasus Timor Leste yang merdeka karena keadilan tak kunjung datang, dan Papua yang terus menggugat hak-haknya.
“Timor Leste merdeka karena keadilan tak pernah datang. Papua pun terus menggugat. Kini, giliran Aceh bersuara. Pemerintah Aceh bisa membangun diplomasi luar negeri untuk membawa perkara ini sampai ke PBB dan Menggugat ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice / ICJ). Ini bukan ancaman, ini peringatan,” tegas Sayed Chairul Raziq, menandakan keseriusan perjuangan Aceh dalam mempertahankan wilayahnya.
Laporan : Zubir