ABDYA, BEDAHNEWS.com – Dugaan pemalsuan tanda tangan dalam dokumen kepemilikan lahan milik Alm. Teuku Sama Indra mencuat di Gampong Ie Mirah, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Kejanggalan ini terungkap dalam musyawarah desa yang melibatkan aparatur gampong, Tuha Peut, dan masyarakat setempat.
Suherman Us, dalam pernyataan tertulis yang diterima media ini, Minggu (23/2/2025), mengungkapkan bahwa pada 14 Februari 2025, aparat Gampong Ie Mirah bersama Tuha Peut menggelar musyawarah untuk menyelesaikan sengketa lahan antara keluarga almarhum dan masyarakat.
Dalam pertemuan itu, keluarga almarhum diminta menyerahkan salinan dokumen kepemilikan lahan selambat-lambatnya 17 Februari 2025. Namun, hingga batas waktu yang ditentukan, dokumen tersebut tidak kunjung diserahkan. Baru pada 21 Februari 2025, keluarga menyerahkan surat yang diklaim sebagai bukti kepemilikan.
Sehari setelahnya, dokumen itu diperiksa oleh aparatur desa dan masyarakat. Surat tersebut merupakan pernyataan kepemilikan lahan tertanggal 1 Maret 1999, yang ditandatangani Dra. Darmiati dari Gampong Kuta Tuha serta dua saksi, yakni Suherman Us (tertulis sebagai Sekdes) dan Munirsyah (tertulis sebagai Kepala Dusun Kuta Malaka). Nama Keuchik Ie Mirah saat itu, Samsuardi, juga disebut mengetahui pernyataan tersebut.
Namun, Suherman Us membantah keras telah menandatangani dokumen tersebut. Ia menegaskan bahwa tanda tangan yang tertera jelas bukan miliknya. Selain itu, ia menyatakan bahwa pada tahun 1999, dirinya bukan Sekretaris Desa (Sekdes), melainkan menjabat sebagai Penjabat (PJ) Keuchik Gampong Ie Mirah. Kejanggalan lain yang ditemukan adalah nama dalam dokumen tertulis “Suherman. Us”, padahal dalam administrasi resmi ia selalu menggunakan nama “Suherman Usda.”
“Sejak menjabat sebagai Sekdes pada 1995 hingga menjadi PJ Keuchik pada 1996-1999, saya tidak pernah mengetahui atau berurusan dengan Alm. Teuku Sama Indra terkait lahan di Gampong Ie Mirah,” ujar Suherman.
Tak hanya Suherman, Munirsyah juga membantah keterlibatannya dalam dokumen itu. Ia menyatakan bahwa tanda tangan dalam surat tidak sesuai dengan tanda tangannya yang asli. Selain itu, ia mengaku bahwa pada tahun 1999, dirinya sudah tidak lagi menjabat sebagai Kepala Dusun di Gampong Ie Mirah.
Merasa namanya dicatut, Suherman Usda berencana melaporkan dugaan pemalsuan ini ke pihak berwajib. Hal serupa juga akan ditempuh Munirsyah yang merasa dirugikan atas keberadaan dokumen tersebut.
Dalam perkembangan lain, muncul informasi bahwa terdapat 23 dokumen serupa dengan nama pemilik yang berbeda-beda. Namun, ketika masyarakat yang bersengketa meminta akses terhadap dokumen-dokumen tersebut, Keuchik Gampong Ie Mirah, Khairul Azmi, menolak menyerahkannya dengan alasan dapat menimbulkan polemik lebih lanjut.
Sikap keuchik yang enggan membuka akses terhadap dokumen justru memicu kecurigaan di kalangan warga. Mereka menilai ada sesuatu yang disembunyikan dan menuntut transparansi penuh agar sengketa lahan dapat diselesaikan secara adil.
Dengan adanya dugaan pemalsuan tanda tangan dan keterangan saksi yang merasa dirugikan, kasus ini berpotensi berlanjut ke ranah hukum. Masyarakat berharap aparat penegak hukum segera menindaklanjuti laporan ini dan mengungkap dalang di balik pemalsuan dokumen.
Kasus ini menjadi peringatan serius akan pentingnya transparansi dalam administrasi pertanahan serta perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. Sengketa lahan ini diharapkan dapat menemukan titik terang melalui proses hukum yang adil dan transparan.
Laporan : Fitria Maisir