Upaya Pelestarian Warisan Seni Budaya Lokal Dalam Pendidikan Anak Bangsa: Re-aktualisasi Metode Nadzam (syair) Di Aceh

  • Whatsapp

M. Hanif Masyhuri Mahasiswa HTN (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah IAIN Langsa, saat berada di Pesantren/Dayah Cabang Abu Paya Pasi – Aceh Timur, di Sungai Pauh Induk, Kec.Langsa Barat.(Foto:Sely/Bedahnews.com).

ARTIKEL, BEDAHNEWS.com – Model atau metode pembelajaran yang diajarkan di sekolah atau rumah pintar memberikan pengaruh yang begitu luar biasa terhadap kecerdasan anak bangsa.

Muat Lebih

Dalam pengertiannya, model pembelajaran merupakan sebuah konsep dalam kerangka belajar yang memberi gambaran langkah- langkah sistematasis dalam susunan proses belajar bagi para siswa/i untuk mendapatkan pembahaman sesuai dengan apa yang diharapkan dalam proses pembelajaran. Antara guru dan murid harus memiliki konsep atau rancangan pembelajaran yang sama-sama disenangi untuk mendapatkan suasana yang kondusif di ruang belajar sehingga dapat memicu kecepatan dalam proses memahami materi.

Aceh, sebagai daerah yang menjadi pusat perkembangan Islam pertama di Asia Tenggara memiliki sejarah metode pembelajaran yang dapat memicup tingkat kekuatan dalam mengingat lebih tinggi dibanding sekarang. Contohnya seperti model pembelajaran yang diajarkan di dayah (pesantren) atau di surau-surau dan juga di sekolah.

Dayah (Pesantren) di Aceh memiliki peran yang begitu luar biasa dalam sejarah pembangun Indonesia dari sisi agama. Lembaga pendidikan dayah memberikan sumbangsih yang bisa dikatakan cukup besar dalam proses penyebaran agama Islam dan proses terbentuknya negeri ini. Dari didikan di dayah, lahirlah ulama-ulama besar dan raja-raja yang ikut andil dalam proses penyebaran agama Islam ke seluruh pelosok nusantara.

Hal ini juga di sampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh Bustami Usman saat membuka kegiatan Sosialisasi Pendataan Education Management Information System (EMlS) Dayah/Pondok Pesantren Tahun 2017, Senin, (13/11/2017) di Grand Arabiya Hotel, Banda Aceh.

Metode atau model pembelajaran yang penulis maksud ialah metode nalam (nadzam). Nadzam merupakan salah satu dari banyaknya kesenian masyarakat Aceh yang kini hampir punah ditelan bumi.

Hal ini berawal dari rasa penasaran penulis terhadap proses daya ingat para ulama, maha guru di Aceh terhadap ajaran-ajaran agama dan perkataan-perkataan para tokoh ilmuwan yang senantiasa mengisi pengajian di surau-surau dan dayah-dayah di Aceh.

Sampai akhirnya penulis mendapatkan jawaban dari orang tua penulis sendiri, ternyata dahulu ada satu metode pembelajaran yang dari metode tersebut, mereka mudah mengingat pelajaran-pelajaran sekolah, khususnya di bidang agama. Namun sangat di sayangkan, metode pembelajaran yang dahulu mendarah daging di Aceh, kini tak banyak lagi dayah atau sekolah-sekolah bahkan ahli sastra Aceh yang masih membudayakan atau menjaga khazanah budaya lokal tersebut.

Hal ini juga disebabkan kurangnya pengenalan terhadap nadzam dan banyak yang tidak tertarik untuk membacanya, untuk generasi sekarang, mengenalnya saja tidak, apalagi untuk melestarikannya

Nadzam dalam kesejarahan sastra, ia mirip dengan pembacaan hikayat. Hikayat jika dilihat dari ciri-cirinya ia merupakan cerita dongeng-dongeng atau legenda-legenda kegamaan yang juga berisi puji-pujian bagi Allah dan Nabi-Nya, di dalamnya oleh pengarang hikayat di tambahkan unsur-unsur kehidupan sebagai renungan bagi masyarakat sehingga menjadi sebuah kisah yang indah dan menyentuh hati pendengar dan pembacanya.

Teuku Abdullah sakti, seorang ahli hikayat Aceh mengatakan bahwa orang Aceh masa dahulu selalu membaca hikayat, siang malam kehidupannya dengan hikayat. Sedangkan nadzam, ia merupakan bentuk kata dari bahasa Arab yang berarti puisi. Akan tetapi dari sastra Aceh, ia dipahami dan diartikan sebagai tulisan atau lisan yang dikarang dalam bentuk saja’ (sajak) seperti syair-syair Arab. Kebanyakan dari syair nadzam ini juga membahas perihal agama.

Agama merupakan tema yang luas untuk diperbincangkan, di dalam syair nadzam ini juga menyinggung persoalan kehidupan yang berisi pelajaran moral yang begitu kompleks yang diajarkan tidak hanya di dayah, namun juga di sekolah-sekolah umum pada masa dahulu.

Hal ini disebabkan masa dahulu tradisi pembelajaran dengan menggunakan bahasa Aceh masih sangat kental sekali dan karya-karya yang dihasilkan juga kebanyakan karya sastra bahasa Aceh dan melayu-jawi.

Sebagai sebuah seni, tradisi dan kebudayaan lokal, seharusnya tradisi nadzam ini tetap dijaga dan dilestarikan, sehingga meskipun zaman terus berganti, ia tidak hilang dan akan tetap terus menjadi tradisi sepanjang abad.

Nadzam yang merupakan jenis puisi lama yang juga dipengaruhi oleh sastra Arab dengan perpaduan sastra Aceh yang berisi syair-syair, kini mengalami transformasi dalam bentuk karya-karya yang sudah banyak dialihbahasakan ke dalam bahasa melayu dan Indonesia dengan dalil mengikuti perkembangan masa modern dan bahasa lingua franca yang dipakai di nusantara, khususnya Indonesia.

Dalam penulisan dan pengarangan-nya, dalam sebaris paling tidak berisi tidak lebih dari 12 suku kata, yang dalam model pembacaannya dibacakan dengan irama tertentu, kalau di zaman sekarang ia seperti nasyid. Disinilah letak metode pembelarannya, di samping ia sebagai pembelajaran, ia juga menjadi hiburan bagi siswa/i dan satriwan/santriwati.

Pembacaan nadzam pada masa dulu tidak hanya dibacakan di dayah atau surau-surau saja, namun juga para pujangga di gampoeng (desa) hidup dengan syair nadzam. sajaknya memberikan kebebasaa dan alur cerita yang memudahkan pembaca dan pendengar.

Di sekolah-sekolah, mereka di ajarkan dengan metode tersebut dan berbahasa Aceh sehingga daya ingat mereka untuk menghafal pelajaran lebih cepat. Sama seperti sekarang, lihatlah anak-anak sekarang lebih mudah mengingat lagu-lagu melalui gadget dari pada pelajaran di sekolah, baik itu lagu Barat, lagu dangdut, maupun lagu-lagu Indonesia lainnya. Banyak karya-karya dalam bentuk nadzam yang dulu diajarkan, diantaranya syair martabat tujoh karya syamsuddin as-Sumatrani, syair ma’rifat karya Abdurrauf as-Singkili, hikayat prang sabe, akhbarul na’im karya syekh Abdussamad atau teungku di cucum tahun 1269, meruekon, tambeh gohna nan, tambeh 17, nasihatul ‘awal, tambihul ghafilin, Aceh seramoe Mekkah, buku yang dikarang oleh Syeh Rih KR. Raya. Di Banda Aceh, 4 Januari 1985. terdiri 15 halaman dan karya lainnya.

Hal yang ingin penulis sampaikan bahwa metode pengajaran dengan nadzam ini, yaitu dengan dilagukan atau didendangkan dan dengan menggunakan bahasa daerah memberikan pengaruh besar bagi daya ingat siswa/siwi dalam pelajaran sekolah, misalnya dalam hal agama, rukun shalat dahulu kata orang tua penulis di nadzam-kan atau dijadikan syair dan dilagukan, begitupun dengan pelajaran-pelajaran lainnya, khususnya dalam bidang agama. Bahkan sampai sekarang, orang tua penulis masih mengingat dengan baik syair pelajaran yang didendangkan ketika masa sekolah dahulu.

Begitupun dengan para ulama-ulama maupun guru-guru di Aceh, bahkan mungkin di daerah lain juga demikian, dengan begitu, disamping mengingat pelajaran, pembacaan dengan model nadzam tersebut juga menjadi hiburan dan sebuah kesenangan bagi mereka, dan secara tidak langsung akan terus terulang-ulang dari mulut mereka, terlebih juga alunannya enak di dengar.

Jika di tradisi pondok-pondok atau pesantren yang masih kental dengan ke-santriannya seperti mereka menghafal isi kitab-kitab kuning dengan irama tersendiri. Dan sampai sekarang dikabarkan untuk naskah nadzam atau tradisi nadzam ini sendiri belum ada perhatian dan dukungan khusus dari pemerintah, khususnya pemerintah Aceh, dikhawatirkan tradisi atau budaya ini akan punah seiring berkembangnya zaman dan berjalannya waktu.

Mengapa hal ini penting?, perlu diingat kembali bahwa Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kebudayaannya dan alamnya. Indonesia tercata sebagai pemilik bahasa daerah ke-2 dunia setelah Papua Nugini. Terhitung 734 bahasa daerah tersebar di 34 provinsi di Indonesia dari sabang sampai Merauke. Dan juga dari UNESCO mengungkap bahwa bahasa daerah di Indonesia punah setiap 15 hari sekali. Data tercatat, seperti yang dilansir di liputan6.com, bahwa sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia telah punah, dan 17 bahasa daerah lainnya terancam punah. Sebagai bentuk identitas kebudayaan yang sangat penting bagi suatu daerah, perlu kiranya pelestarian aset budaya ini ditingkatkan oleh negara agar jati diri bangsa Indonesia, khususnya masing-masing daerah tidak hilang.

Untuk daerah Aceh sendiri, banyak kosa kata dalam bahasa Aceh yang telah punah dan nyaris punah sebab generasi penerus tidak dikenalkan lagi dengan bahasa nenek moyang, melainkan didorong untuk mempelajari bahasa asing (bahasa Inggris) dan dalam komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia, sebab rakyat Indonesia kini lebih mengedepankan bahasa Indonesia dengan dalih untuk menyatukan bangsa, akan tetapi lupa untuk mempertahankan jati diri Indonesia sebagai pemilik bahasa daerah ke-2 dunia.

Dalam dunia pendidikan, salah satu hal yang dapat mendukung proses mengingat pelajaran dan mempertahankan bahasa daerah serta jati diri warisan seni budaya lokal, dengan memasukkan pelajaran muatan lokal kembali dan memasukkan materi nadzam di dalamnya, mempelajarinya serta menerapkannya tidak hanya di sekolah dasar, namun juga sampai ke jenjang universitas. Bisa juga meingkatkan dan menghidupkan kembali sanggar-sanggar seni sastra lama yang menggali warisan-warisan budaya bersama para seniman dari berbagai daerah di Indonesia.

Hal lainnya yang dapat dilakukan ialah adanya peraturan khusus dari Pemerintah sebagai pemiliki otoritas dalam negara untuk memberi perhatian lebih terhadap warisan seni budaya lokal dalam dunia pendidikan anak bangsa.

Hal ini tidak hanya ditujukan untuk daerah Aceh, namun juga untuk daerah-daerah lainnya yang memiliki warisan seni budaya lokal yang begitu luar bisa di negeri kita tercinta Indonesia demi mempertahanan jati diri Indonesia dan kemajuan NKRI.

Oleh : M. Hanif Masyhuri

2032019004

HTN (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah IAIN Langsa.

Editor : M.Syaharuddin

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *