Jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung membentangkan tulisan dalam aksi tolak 17 pasal bermasalah pada RKUHP di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Senin 5 Desember 2022.(Antara/Raisan Al Farisi).
JAKARTA, BEDAHNEWS.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi UU dalam Rapat Paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun 2022-2023.
Anggota Komisi III DPR RI, dari Fraksi Partai Demokrat, Santoso menyatakan bahwa partainya setuju terhadap langkah pemerintah melakukan dekolonisasi terhadap UU pidana.
Namun, kata dia, penting untuk diingat serta dipastikan bahwa semangat dekolonisasi dalam KUHP jangan sampai mengkriminalisasi dan mereduksi hak-hak masyarakat.
Demikian disampaikan Santoso saat menyampaikan pandangannya dalam Rapat Paripurna DPR RI terkait pengesahan KUHP, Selasa (6/12/2022).
“Partai Demokrat mengimbau pemerintah untuk memastikan bahwa implementasi RUU KUHP ini tidak akan merugikan masyarakat melalui peraturan yang berpotensi mengkriminalisasi,” katanya.
Pemerintah, sambung dia, harus mampu menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat terutama kebebasan berpendapat.
Santoso mengingatkan bawah saat ini masih terdapat keresahan masyarakat terkait beberapa pengaturan dalam KUHP di antaranya peraturan penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, serta penghinaan kepada lembaga negara.
Koridor dan batasan yang telah ditetapkan dalam KUHP lanjut dia harus jelas dipahami dan dijalankan oleh penegak hukum secara baik sehingga dalam implementasinya tidak terjadi penyalahgunaan hukum.
“Karena itu perlindungan terhadap hak seluruh masyarakat serta edukasi terhadap aparat penegak hukum menjadi PR utama yang harus diprioritaskan pemerintah setelah pengesahan RUU KUHP ini,” tuturnya.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly menambahkan tidak mudah untuk mengakomodasi seluruh aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat untuk kemudian dituangkan ke dalam sebuah UU. Terlebih Indonesia merupakan negara yang multietnik.
Dia pun mengatakan bahwa Belanda butuh waktu 70 tahun untuk menyusun UU hukum pidananya. Namun demikian, dia mengatakan bahwa pada dasarnya pemerintah tidak ingin untuk membungkam kritik yang disampaikan masyarakat terhadap sejumlah pasal di dalam KUHP.
“Kita yang isinya masyarakat multietnis ini memerlukan akomodasi yang luas. Tidak mungkin mengakomodasi 100 persen, tapi perlu saya catat bahwa pemerintah tidak berkeinginan untuk membungkam kritik,” ucapnya.
Sumber : Pikiran Rakyat
Editor : Bung Dewa