Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (kanan) didampingi Wakapolri yang juga Ketua Timsus Polri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono (kiri) memberikan keterangan pers terkait tersangka baru kasus dugaan penembakan Brigadir J di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (9/8/2022). Timsus Polri secara resmi menetapkan mantan Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai tersangka.(ANTARA/Akbar Nugroho Gumay).
JAKARTA, BEDAHNEWS.com – Satu bulan kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, atau disebut Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo, Jumat (8/7/2022). Dari proses penyelidikan, maupun penyidikan, sampai hari ini, Selasa (9/8/2022), mengungkapkan fakta-fakta baru soal kematian putra Batak kelahiran Jambi 29 November 1994 tersebut.
Perkembangan dari hasil pengungkapan, pun memunculkan pergeseran narasi peristiwa, yang berseberangan dengan keterangan resmi versi Polri awal-awal. Berikut fakta-fakta baru yang terangkum dalam proses pengungkapan kematian tak wajar Brigadir J.
1. Dari adu-tembak ke pembunuhan berencana
Mula-mula kasus ini, Polri dalam pernyataan resmi, menyatakan Brigadir J tewas dalam adu tembak. Disebutkan Bhayangkara Dua Richard Eliezer (Bharada E), yang menjadi lawan Brigadir J dalam insiden baku-tembak di rumah Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo, di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan (Jaksel), Jumat (8/7/2022). Disebutkan pula versi kepolisian, Brigadir J yang menembak Bharada E duluan. Tujuh peluru tajam keluar dari muncung pistol HS-16 Brigadir J, ke arah Bharada E.
Tetapi, dikatakan polisi, tembakan Brigadir J, tak ada peluru tajam yang kena satupun ke sasaran. Sebaliknya, balasan dari Bharada E, dengan menggunakan Glock-17, menyemburkan lima pelor. Semuanya, mengenai target, menembus badan, dan kepala, sampai ke muka Brigadir J yang mengantarkannya ke sakaratul maut. Namun, kronologis versi Polri awal-awal tersebut, lambat-laun ‘membusuk’ dengan pengakuan Bharada E yang kini dalam tahanan di Bareskrim Polri.
Dalam pengakuannya kepada tim penyidik di Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri, Bharada E mengungkapkan, tak ada situasi adu tembak saat hari nahas tersebut (8/7/2022). Tim Pengacara Bharada E, Mohammad Boerhanuddin, dan Deolipa Yumawar mengungkapkan, kliennya, Bharada E, sudah mengakui kepada penyidik, bahwa yang membunuh Brigadir J memang dirinya. Namun, Boerhanuddin menerangkan, dalam aksi pembunuhan tersebut, tak ada situasi adu tembak yang diceritakan versi Polri selama ini.
“Dari dia (Bharada E) memang pelaku yang menembak. Dan saat itu tidak ada tembak-menembak (dengan Brigadir J),” terang Boerhanuddin, Senin (8/8/2022). Deolipa menambahkan, pengakuan Bharada E tersebut, sudah dituangkan ke dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Pun pengakuan tersebut, Bharada E ucapkan kepada petinggi-petinggi Polri yang turut menyidik kasus ini. “Yang dimaksud tembak-menembak itu kan, kalau di sana (Brigadi J) menembak, di sini (Bharada E), membalas nembak. Tapi, dari klien kami, mengakui kita (Bharada E) doang yang nembak. Sana (Brigadir J), nggak nembak. Kalau begitu, itu namanya bukan tembak-menembak. Tapi, apa? Tembak-tembak,” kata Deolipa, Senin (8/8/2022) malam.
Bharada E, ditetapkan tersangka pada Rabu (3/8/2022) malam. Penyidik Bareskrim menjeratnya dengan sangkaan Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55, dan Pasal 56 KUH Pidana. Sangkaan itu, terkait dengan kesengajaan melakukan pembunuhan, juncto turut serta melakukan kejahatan pembunuhan, dan memberikan sarana untuk melakukan kejahatan pembunuhan. Pada Ahad (7/8/2022), penyidik kembali menetapkan satu tersangka. Yakni, Brigadir Ricky Rizal (RR), yang dijerat dengan sangkaan Pasal 340 KUH Pidana subisder Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55, dan Pasal 56 KUH Pidana.
Jeratan pasal terhadap tersangka Brigadir RR itu lebih berat. Karena pasal utama dalam tuduhan, menyangkut soal pembunuhan berencana, subsider kesengajaan melakukan pembunuhan, juncto turut serta melakukan kejahatan pembunuhan, dan memberikan sarana untuk melakukan kejahatan pembunuhan. Jika tuduhan penyidik itu benar, ancaman tersangka Brigadir RR lebih berat, ketimbang Bharada E. Ancaman Pasal 340, membuka peluang hukuman mati, atau penjara seumur hidup, atau minimal 20 tahun. Sedangkan tersangka Bharada E, terancam hukuman 15 tahun.
2. Dari pembelaan diri, ke pembunuhan murni
Direktur Tindak Pidana Umum (Dir Tipidum) Brigadir Andi Rian, saat mengumumkan Bharada E sebagai tersangka, Rabu (3/8), menegaskan, aksi menewaskan Brigadir J bukan pembelaan diri. “Sudah saya jelaskan pasal-pasalnya. Dia (Bharada E) dikenakan Pasal 338, Pasal 55, Pasal 56 (KUH Pidana). Itu bukan pembelaan diri. Itu pembunuhan,” kata Andi Rian, Rabu (3/8) malam.
Penegasan dari Brigjen Andi Rian tersebut, juga seperti menganulir pernyataan resmi Polri pada mula-mula kasus ini terungkap. Disebut oleh kepolisian selam ini, aksi Bharada E yang melepaskan tembakan mematikan sampai lima kali ke Brigadir J, lantaran terpaksa, dan upaya membela diri. Dikatakan sejak awal oleh kepolisian, Bharada E terpaksa ‘mencabut nyawa’ rekannya sesama ajudan Kadiv Propam itu, karena Brigadir J melakukan aksi amoral, berupa pencabulan, atau pelecehan seksual, serta ancaman kekerasan, juga ancaman pembunuhan kepada Putri Candrawathi Sambo, isteri dari Irjen Sambo.
3. Dari pelaku tunggal, ke aksi pembunuhan bersama-sama
Sejak penyidik Dittipidum Bareskrim Polri menetapkan Bharada E sebagai tersangka, Rabu (3/8) malam, publik bukan malah optimistis kasus kematian Brigadir J ini bakal terungkap sampai ke pelaku utamanya, atau aktor intelektualnya. Bahkan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengatakan, agar penyidikan Bareskrim Polri, tak membebankan semua tanggungjawab hukum kepada Bharada E. Komnas HAM, juga sudah pernah melakukan pemeriksaan terhadap Bharada E, Selasa (26/7).
Taufan mengungkapkan, dari permintaan keterangan terhadap Bharada E, ada indikasi aksi yang terjadi di rumah dinas Irjen Sambo itu, tak dilakukan oleh aktor tunggal. “Saya sampaikan kepada pengacara, agar mendukung fair trail (keadilan hukum) terhadap Bharada E ini,” ujar Taufan, Jumat (5/8). Taufan setuju untuk tetap melakukan penghakiman terhadap Bharada E di pengadilan. Pun jika terbukti, agar tetap mendapatkan hukuman. Namun menurut dia, bakal tak adil jika penyidikan kasus ini, cuma menyasar Bharada E seorang. “Kalau dia sebenarnya hanya suruhan bagaimana? Jadi kita minta dalam penyidikan kasus ini, agar tidak semua dosa yang menanggung itu Bharada E,” ujar Taufan.
Dan skenario pelaku tunggal versi kepolisian awal-awal penyidikan kasus ini, pun terbantah setelah Bareskrim Polri, akhirnya menetapkan Brigadir RR sebagai tersangka tambahan, pada Ahad (7/8) kemarin. Bahkan, lebih keras penjeratan penyidik terhadap tersangka Brigadir RR, yang dikenakan sangkaan pembunuhan berencana. Konstruksi awal penyidikan Bareskrim Polri, saat menetapkan Bahrada E sebagai tersangka, pun sudah menebalkan sangkaan Pasal 55, dan Pasal 56 KUH Pidana, sebagi delik penyertaan dari sangkaan utama Pasal 338, dan Pasal 340 tentang pembunuhan, dan pembunuhan berencana.
4. Dari dugaan pelecehan seksual, ke motif yang belum terungkap
Tewasnya Brigadir J, terjadi pada Jumat (8/7). Namun baru diketahui lewat rilis resmi dari Humas Mabes Polri, pada Senin (11/7). Dalam perilisan resmi peristiwa itu, disebutkan tewasnya Brigadir J, karena tembak-menambak dia, dengan Bharada E. Brigadir J, dan Bharada E, sebetulnya sama-sama anggota Polri, yang berdinas tugas di Divisi Propam, di bawah komando, dan menjadi ajudan Kadiv Propam Irjen Sambo. Tembak-menembak dua ajudan itu, versi kepolisian menyebutkan terjadi lantaran Brigadir J yang melakukan pencabulan, dan pelecehan seksual kepada Nyonya Sambo.
Aksi amoral Brigadir J itu, membuat Nyonya Sambo teriak-teriak minta tolong. Bharada E yang mendengar teriak-teriak minta tolong isteri komandannya itu, berusaha menolong. Tetapi, upaya melakukan pertolongan tersebut, disebutkan polisi, mendapat tanggapan berupa tembakan dari Brigadir J. Alhasil, Bharada E, yang disebutkan oleh Polri awal-awal berasal dari Korps Brimob, dan jago tembak, membalas tembakan Brigadir J, sampai mati. Polri, sampai saat ini, masih mempertahankan narasi pelecehan seksual kepada Nyonya Sambo terkait peristiwa itu.
Tetapi, Komnas HAM, yang melakukan penyelidikan sampai hari ini, pun masih gamang untuk percaya dengan peristiwa pelecehan seksual terhadap Nyonya Sambo itu. Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, Sabtu (6/8) juga mengatakan, tim penyelidikannya, belum memiliki bukti-bukti, atau akurasi informasi apapun, atas dugaan amoral yang dialami Nyonya Sambo yang disebut kepolisian selama ini, sebagai motif peristiwa, atau pangkal kronologis adu tembak antara Bharada E, yang menewaskan Brigadir J.
“Soal dugaan kekerasan seksual, atau dugaan pelecehan terhadap Ibu PC (Nyonya Sambo), semuanya belum ada pembuktian. Semua, belum ada yang bisa memastikan, apakah itu (dugaan pelecehan) terjadi atau tidak,” ujar Taufan, Sabtu (6/8). Taufan mengatakan, penjelasan adanya dugaan pelecehan seksual terhadap Nyonya Sambo, sebagai latar peristiwa adu tembak antara Bharada E, yang menewaskan Brigadir J, selama ini hanya bersumber dari Polri. Hal tersebut, pun berdasarkan pelaporan dari Irjen Sambo, dan Nyonya Sambo, ke Polres Metro Jakarta Selatan (Jaksel).
Akan tetapi, sampai hari ini, Selasa (9/8), pun proses penyidikan kasus dugaan pelecehan tersebut, tak jelas arah majunya. Meskipun kasusnya sudah disupervisi oleh tim penyidik Polda Metro Jaya, bahkan belakangan penanganannya juga ditarik ke Bareskrim Polri. Tetapi, pengungkapan dugaan amoral Brigadir J, terhadap Nyonya Sambo, masih gulita. Sementara di Komnas HAM, kata Taufan, sampai hari ini, belum mendapatkan penjelasan, ataupun pengakuan, dan keterangan langsung dari PC.
5. Dari Kadiv Propam, masuk kotak ke Divisi Pelayanan Markas (Yanma)
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sejak awal kasus ini mencuat ke publik, didesak untuk segera mencopot Irjen Sambo dari jabatannya selaku Kadiv Propam. Desakan itu, karena publik curiga, adanya keterlibatan Irjen Sambo. Apalagi, kejadian itu, terjadi di rumah dinasnya, pun disebutkan melibatkan isterinya. Tetapi, Jenderal Sigit, seperti mengulur-ulur keputusannya, agar tak frontal. Pada Selasa (12/7), Jenderal Sigit mengatakan, tak perlu terburu-buru untuk mencopot posisi Irjen Sambo sebagai Kadiv Propam.
“Tentunya, kita tidak boleh terburu-buru (melakukan penonaktifan Kadiv Propam),” ujar Kapolri. Tetapi, keputusan Kapolri berlanjut. Pada Senin (18/7), saat tim pengacara keluarga Brigadir J, resmi melaporkan kematian tak wajar Brigadir J, ke Bareskrim Polri, Kapolri Sigit, melakukan pencopotan sementara Irjen Sambo sebagai Kadiv Propam. Keputusan Kapolri tersebut, bulat atas nama dirinya pribadi sebagai komandan tertinggi di Polri.
“Saya sampaikan bahwa, mencermati perkembangan yang ada, dan spekulasi-spekulasi yang berkembang, yang tentu akan berdampak terhadap proses yang sedang kita laksanakan (pengungkapan dan penyidikan), maka kita putuskan untuk Irjen Pol Ferdy Sambo untuk sementara jabatannya sebagai Kadiv Propom, dinonaktifkan,” begitu kata Kapolri.
Pada Kamis (4/8) sore, saat Irjen Sambo resmi diperiksa di Bareskrim Polri terkait pembunuhan Brigadir J, Kapolri resmi mencopot Irjen Sambo sebagai Kadiv Propam. Pada Kamis (4/8) malam, terbit Surat Telegram (ST) Kapolri 1628/VIII/Kep/2022. Isinya, nomor satu memutasi Irjen Sambo dari Kadiv Propam, ke Divisi Yanma. Yanma ini, divisi pelayanan markas, dengan kepangkatan tertinggi, adalah Brigjen, atau Komisaris Besar (Kombes). Namun Irjen Sambo, di Yanma, didapuk sebagai Perwira Tinggi (Pati).
Pada Sabtu (6/8), Tim Inspektorat Khusus (Irsus) Polri, menjebloskan Irjen Sambo ke sel isolasi di Mako Brimob. Tim Irsus memasukkan dia ke tempat khusus itu, selam 30 hari untuk diperiksa terkait dengan pelanggaran etik, atas sikap tak profesional dalam pengelohan TKP. Irjen Sambo juga dituding melakukan pengrusakan TKP kematian Brigadir J. Bahkan, disebutkan oleh Kapolri, Irjen Sambo merusak alat bukti berupa CCTV yang merekam adegan pembunuhan Brigadir J. Juga disebutkan, Irjen Sambo, diduga melakukan rekayasa kronologis penyebab kematian Brigadir J.
6. Dari Cuma Satu Jenderal, ke 25 Perwira Tinggi Kepolisian
Kapolri, saat mencopot Irjen Sambo sebagai Kadiv Propam, bukan berdasarkan dugaan yang main-main. Jenderal Sigit, menegaskan, aksi Irjen Sambo merusak TKP, merekayasa kronologis kematian Brigadir J, disebut sebagai menghambat utama dalam pengungkapan, dan penyidikan kasus tersebut. Namun terungkap, Irjen Sambo, melakukan sikap tak profesional itu beramai-ramai. Jenderal Sigit bahkan menyebutkan, ada 25 personel Polri, selain Irjen Sambo yang turut membantu penghambatan pengungkapan, dan penyidikan kematian Brigadir J itu.
“Dimana 25 personil ini, kita (Irsus) periksa atas ketidakprofesionalannya dalam pengungkapan, penyelidikan, dan penyidikan, juga pada saat penanganan olah TKP (tempat kejadian perkara),” kata Jenderal Sigit dalam konfrensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/8). Jenderal Sigit mengungkapkan, 25 personil yang diperiksa tim Irsus tersebut, terdiri dari tiga perwira bintang satu atau brigadir jenderal (Brigjen), lima perwira menegah dengan pangkat komisaris besar (Kombes), tiga berpangkat AKBP, kompol dua personil, dan tujuh perwira menengah, serta lima personil dari tamtama. Personil-personil ‘bermasalah’ tersebut, kata Kapolri, berasal dari Divisi Propam, Polres Metro Jakarta Selatan (Jaksel), dan beberapa personil dari Polda Metro Jaya, juga ada yang dari satuan Bareskrim Mabes Polri.
Atas ketidakprofesionalan 25 anggota Polri itu membantu Irjen Sambo dalam penghambatan proses penyidikan, Kapolri, pun memutuskan untuk melakukan pencoptan jabatan. Total ada 10 personel Polri yang dicopot dari jabatannya. Selain Irjen Sambo yang dicopot sebagai Kadiv Propam Polri, dan dipindahkan ke Yanma, juga ada nama Brigadir Jenderal (Brigjen) Hendra Kurniawan. Brigjen Hendra, dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Div Propam Polri. Brigjen Benny Ali yang dicopot, sebagai Kepala Biro (Karo) Provos Div Propam Polri. Komisaris Besar (Kombes) Denny Setia Nugraha, juga dicopot sebagai Sekretaris Biro (Sesro) Paminal Div Propam.
Kombes Agus Nurpatria, sebagai Kepala Datasemen (Kaden) A Biro Paminal Div Propam, juga dicopot. AKBP Arif Rachman Arifin Wakil Kepala Detasemen (Wakaden) B Biro Paminal, juga dicopot. Komisaris Polisi (Kompol) Baiquni Wibowo, dan Kompol Chuck Putranto, yang selama ini menjabat sebagai Kasubbagriksa Etika, dan Kasubbag Audit Div Propam Polri, juga masuk kotak ke Yanma. Dua perwira dari Polres Metro Jaksel yang terseret arus kasus Irjen Sambo, adalah AKBP Ridwan Rhekynellson Soplanit. Ia dicopot sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Jaksel. AKP Rifaizal Samual, dicopot dari Kepala Unit (Kanit)-1 Satreskrim Polres Jaksel.
7. Dari Kapolri, sampai Presiden, dan Anggota Kabinet, pun Bersuara
Kasus pembunuhan Brigadir J di rumah dinas Irjen Sambo ini, bukan cuma mengguncang internal di Polri. Para purnawirawan Polri, maupun Tentara Nasional Indonesia (TNI) ikut berkomentar, menyampaikan analisa macam-macam di berbagai media. Reaksi, dan desakan publik, mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi), pun ikut bicara. Tercatat, sudah empat kali Presiden Jokowi berkomentar soal kasus tersebut. Namun pada semua komentarnya, Presiden Jokowi memerintahkan agar Kapolri, mengusut tuntas kasus tersebut, dan terbuka, serta jujur dalam mengungkapkan kasus tersebut.
Menteri Kordinator Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, pun sejak awal kasus ini, turut mengawasi. Mahfud, juga adalah adalah Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), lembaga eksternal kepolisian, yang terlibat dalam di dalam Tim Khusus Gabungan bentukan Kapolri untuk mengungkapkan kematian Brigadir J. Pekan lalu, Mahfud MD, mendengar langsung keluh-kesah, dan pengaduan dari keluarga Brigadir J, terkait kasus tersebut. Mahfud, dalam komentarnya, menilai kasus kematian Brigadir J, sebagai peristiwa pidana yang tak biasa.
Mahfud pun mengakui, dalam proses pengungkapan, terjadi pergeseran narasi, dan kronologi kasus tersebut. “Dulu kan katanya, ada tembak-menembak. Sekarang, nggak ada tembak-menembak. Yang ada adalah pembunuhan, dan pembunuhan berencana,” ujar Mahfud, di Istana Negara, Senin (8/8). Namun, dalam setiap komentarnya, Mahfud MD, selalu mengatakan percaya dengan kualitas Polri dalam pengungkapan kasus tersebut. “Presiden (Joko Widodo), sudah memerintahkan, agar jangan ada yang ditutupi, apa adanya,” kata Mahfud.
Jurnalis : Repka
Editor : Bung Dewa